Kebijakan Pemerintah Dalam Eekonomi Islam

Label:

Oleh: Chenny Seftarita
Alquran telah jelas menceritakan tentang adanya siklus bisnis dalam perekonomian dan cara pengelolaannya. Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 43-48 telah menceritakan tentang kebijakan fiskal yang dilakukan masyarakat Mesir pada zaman nabi Yusuf, A.S. Dikisahkan bahwa pada zaman nabi Yusuf, A.S., raja Mesir saat itu bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus dan tujuh tangkai gandum yang hijau dan (tujuh tangkai ) yang lain kering. Nabi Yusuf, A.S., mengartikan mimpi tersebut bahwa akan terjadi tujuh masa di mana perekonomian akan mengalami booming (masa subur), dan tujuh masa kemudian mengalami paceklik (resesi).  
Mimpi di maknai bahwa dalam perekonomian akan ada siklus bisnis. Saran beliau adalah bahwa pada masa booming, bercocok tanamlah selama tujuh tahun tersebut secara biasa. Sebagian yang telah dipanen hendaklah disimpan bersama tangkainya dan sedikit sisanya adalah untuk konsumsi sekarang. Kemudian jika telah datang masa tujuh tahun kemarau (kelaparan), simpanan makanan dapat dikonsumsi dan sebagian kecil disisakan untuk menjadi benih dan begitu seterusnya.  Kebijakan ini berhasil membawa perekonomian mesir pada tingkat kemakmuran. Di mana Mesir dapat melalui tahap-tahap siklus bisnis dengan baik. Kebijakan anggaran surplus yang diterapkan baik dalam tingkat individu maupun pemerintah dizaman nabi Yusuf, A.S ini merupakan adanya bukti bahwa kebijakan ekonomi telah ada jauh sebelum teori modern tentang kebijakan anggaran dan teori siklus bisnis  muncul.  
Dalam konteks modern, masa kaya raya dapat di sinonimkan sebagai masa booming, dimana indikator perekonomian rata-rata mengalami peningkatan, seperti; pertumbuhan ekonomi, surplus neraca perdagangan dan pembayaran, naiknya harga minyak bumi, swasembada pangan, dan lain-lain. Sebagai contoh kasus, Indonesia pernah mengalami masa boom minyak (oil boom) pada tahun 1973 dan 1979, dimana terjadi kenaikan harga-harga minyak di pasaran internasional. Pada saat itu potret perekonomian Indonesia terlihat sangat bagus dan gemilang berkat kejutan-kejutan minyak tersebut. Masa paceklik dalam sejarah nabi Yusuf A.S dapat diistilahkan sebagai masa depresi (depreciation) dimana terjadi penurunan terendah dalam  aktivitas perekonomian (economics down turn). Masa krisis dalam perekonomian modern terjadi karena berlakunya pengangguran dan penurunan aktivitas perekonomian. Terkadang bahkan perekonomian dihadapkan pada masalah inflasi dan pengangguran yang terjadi bersamaan, seperti kasus krisis Asia tahun 1997/1998 lalu.
            Di zaman Nabi Muhammad, S.A.W., lembaga keuangan negara yang disebut baitul mal  berperan menjalankan kebijakan fiskal. Baitul mal bukanlah sekedar bazis seperti sekarang ini, tetapi juga berperan sebagai lembaga pengelola keuangan negara. Baitul mal dapat menjalankan kebijakan fiskal karena sumber penerimaannya tidak terbatas pada zakat saja, namun mencakup pula; karaj (pajak atas tanah), khums, jizya, dan penerimaan lainnya seperti khaffarah.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri kebijakan fiskal Baitul Mal, pertama: dalam kebijakan fiskal baitul mal anggaran defisit boleh digunakan pada saat yang sangat genting. Defisit juga harus secepatnya dilunasi. Dalam sejarah perjuangan Rasullullah.S.A.W, tercatat hanya sekali terjadi anggaran defisit yaitu ketika jatuhnya kota Mekah. Hutang pemerintah saat itu dibayar sebelum satu tahun yaitu setelah perang Hunayn selesai. Kedua: terdapat perbedaan kharaj (pajak atas tanah)  pada setiap tanah. Perhitungan tingkat kharaj ditentukan berdasarkan produktivitas lahan, bukan berdasarkan luas lahan. Suatu tanah dikatakan produktif di lihat dari tingkat kesuburan tanah, jumlah dan nilai pasar produk pertanian yang ditanam di lahan tersebut, dan memasukkan metode irigasi pada tanah tersebut.
Ciri yang ketiga: akad pada peternakan dikenakan tingkat pajak yang regresif yaitu semakin banyak ternak yang dipelihara semakin kecil rate nya. Hal ini mendorong adanya skala usaha yang lebih besar dan biaya produksi yang lebih rendah. Akibatnya tersedia lebih banyak ternak dengan harga relatif murah. Pengenaan pajak dengan system ini hanya dikenakan pada peternakan dan tidak pada barang pertanian yang cepat rusak. Keempat: zakat perdagangan dikenakan atas keuntungan, bukan atas harga jual. Secara ekonomi ini berarti zakat tidak akan mengurangi penawaran barang dan tidak akan menaikkan harga jual. Bagian terakhir, yaitu bagian kelima: porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur lebih besar dari pada anggaran lainnya. Kebijakan fiskal baitul mal juga telah mengedepankan manajemen administrasi yang baik. Selain itu jaringan kerja antara baitul mal di pusat dan baitul mal di daerah-daerah telah di kenal dan di laksanakan dengan baik seperti konsep lembaga modern saat ini.
            Untuk kebijakan moneter dilihat dari sudut pandang Islam, secara umum konsep dasar dari aktivitas perekonomian terutama disektor moneter tertuang dalam Al-Quran surat Al Baqarah ayat 275  yang di terjemahkan berikut ini:

“ Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berpendapat sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi riba maka orang-orang itu adalah penghuni –penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”. Q.S. Al Baqarah, 2:275.

            Dalam surat tersebut jelas bahwa dalam konsep ekonomi Islam, adanya larangan yang tegas mengenai riba atau bunga seperti di zaman modern saat ini. Dengan jelas bahwa yang di perbolehkan adalah prinsip-prinsip jual beli yang kemudian menjadi dasar dari kegiatan-kegiatan sektor keuangan Islam, seperti perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
Dalam literatur sejarah, sampai dengan zaman Umar Bin Khattab, r.a boleh dikatakan pemerintahan Islam belum memiliki sejenis bank sentral yang mengatur kebijakan moneter, karena pada waktu itu belum ada mata uang dinar yang dicetak oleh pemerintahan Islam. Sebagaimana diketahui, mata uang resmi masih menggunakan dinar romawi dan dinar Persia. Baru dizaman Khalifah Utsman, r.a, dinar Islam dibentuk yang menyerupai dinar Persia.  Barulah pada pemerintahan Ali, r.a dinar khas Islam dibentuk. Namun karena keadaan politik saat itu, peredarannya masih terbatas. Dalam hal ini baitul mal belum menjalankan fungsinya sebagai  pengambil kebijakan moneter.
            Cikal bakal Kebijakan moneter dalam Islam di mulai tentang peran uang dalam perekonomian. Nezhad (2004) menjelaskan tentang peran uang dan perkembangan uang dalam sejarah Islam. Dalam konsep Islam di akui permintaan uang untuk transaksi, standar pembayaran dan unit penyimpan nilai. Sedangkan motif spekulasi tidak diakui karena dapat mendorong pada transaksi maya disektor moneter. Uang  bukanlah komoditi sehingga tidak dapat di perjual belikan. Uang tidak memiliki harga namun dapat merefleksikan semua  harga.  Uang pertama yang di cetak oleh pemerintah Islam berbentuk koin emas dan perak yaitu pada tahun 40 setelah Hijriyah, namun belum menjadi mata uang resmi saat itu. Barulah pada tahun 74 setelah Hijriyah uang dinar dan dirham tersebut menjadi mata uang resmi dan menjadi hak monopoli pemerintah. Melengkapi pendapat tersebut, Al-Yosef (2005) menyatakan bahwa penyebab utama krisis yang melanda perekonomian dunia dalam 3 dekade terakhir adalah di sebabkan oleh penggunaan uang untuk tindakan spekulasi (gharar). Tindakan spekulasi menyebabkan menggelembungnya ekonomi yang rentan terhadap krisis, serta terjadinya high cost dalam ekonomi.
Dalam kebijakan moneter, stok uang adalah cerminan aktivitas sektor riil, di mana jika penambahan jumlah uang beredar melebihi jumlah produksi barang dan jasa maka akan menyebabkan inflasi.  Pemerintah harus menjaga nilai uang,  sehingga pencetakan uang harus sesuai dengan produksi barang yang dilakukan negara. Dalam sejarah ekonomi Islam pernah terjadi inflasi akibat pencetakan uang. Pada awal pemerintahan Bani Mamluk satu dirham mengandung dua per tiga perak dan sepertiga tembaga, namun di zaman pemerintahan Nasir, pemerintah merubah nilai mata uang ini menjadi dua pertiga tembaga dan sepertiga perak. Hasilnya adalah ketidakstabilan ekonomi dan meningkatnya inflasi karena jumlah uang beredar terlalu banyak. Pentingnya tentang menjaga jumlah uang beredar, secara tegas Islam mengecam penimbunan uang yang tidak produktif dan pemalsuan uang, karena menimbun uang sama seperti menarik uang secara sementara dalam peredaran. Sedang memalsukan uang adalah menambah uang beredar.

1 komentar:

  1. join4succes mengatakan...:

    Tulisan ini sangat menarik dan merefleksikan bahwa sudah sepatutnya sistem perekonomian khususnya Aceh, mengacu pada sistem perekonomian Islam, karena Nabi Muhammad Saw. sudah berjanji, tidak akan pernah sesat/celaka bagi yang mau berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits, terima kasih

Posting Komentar