Oleh: Chenny Seftarita SE,M.Si.
Dalam kebijakan
suatu negara, diperlukan adanya gabungan kebijakan (policy mix) yang saling terkoordinasi dengan baik. Koordinasi
antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter diperlukan untuk menghindari
tumpang tindih kebijakan dan ke gagalan kebijakan. Kita mengenal istilah
informasi yang asimetris (assimetrics
information) di mana informasi yang
tidak seimbang antara kebijakan pemerintah dengan ekspektasi rumah tangga atau
perusahaan akan memicu adanya kegagalan kebijakan tersebut. Kita juga mengenal
istilah crowding out atau kebijakan
yang saling meniadakan sehingga kebijakan menjadi gagal dalam pencapaian
tujuan.
Kebijakan
gabungan dinilai dapat mempengaruhi perekonomian lebih maksimal jika di lakukan
secara terkoordinasi. beberapa metode
dalam pelaksanaan kebijakan gabungan, antara lain; (1) Kebijakan moneter
ekspansif dan kebijakan fiskal ekspansif, (2) Kebijakan moneter kontraktif dan
kebijakan fiskal ekspansif, (3) Kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan fiskal kontraktif, (4)
Kebijakan moneter kontraktif dan
kebijakan fiskal kontraktif.
Metode (1) dan
(4) dimana kebijakan di lakukan sama-sama ekspansif atau ama-sama kontraktif merupakan metode kebijakan yang paling efektif
untuk mengatasi fluktuasi siklus bisnis yang berlebihan. Kondisi ini tentu
memiliki syarat jika gabungan kebijakan tersebut dilakukan secara terkoordinasi.
Sementara itu, metode kebijakan (2) dan (3) akan memiliki pengaruh yang saling
meniadakan, dan hasil akhirnya sangat tergantung pada kekuatan pengaruh relatif
antara kebijakan moneter dan fiskal. Beberapa studi empiris memperlihatkan bahwa kombinasi
kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan fiskal ekspansif sering kali cenderung mendorong terjadinya crowding out dimana kebijakan fiskal
ekspansif akan meningkatkan suku bunga keseimbangan pasar sehingga dapat
menghambat kegiatan investasi oleh masyarakat (warjiyo dan Solikin, 2003).
Sejalan dengan hal tadi, menurut
Dornbusch,et.al (2008:267), Kebijakan moneter yang ekspansif akan menurunkan
tingkat bunga, sedangankan kebijakan fiskl yang ekspansif akan meningkatkan
tingkat bunga. Kebijakan moneter yang ekspansif akan meningkatkan output dan
meningkatkan investasi. Sedangkan kebijakan fiskal dapat meningkatkan output
namun menyebabkan turunnya tingkat investasi akibat crowding out. Oleh karenanya, pemerintah dapat menerapkan policy mix atau gabungan kebijakan
fiskal dan moneter yang dapat kita lihat pada gambar (3.7).
Jika perekonomian hendak mencapai
nilai Y* atau titik full employment,
maka kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan fiskal ekspansif dengan
konsekuensi tingkat bunga naik dan investasi menurun karena adanya crowding out (titik E1). Jika dilakukan kebijakan
moneter maka tingkat bunga akan turun pada tingkat E2 dimana investasi
meningkat. Pemerintah dapat menerapkan kebijakan gabungan atau policy mix
sehingga hasilnya ada dipertengahan E1 dan E2. Kebijakan gabungan dapat
sama-sama mencapai pertumbuhan ekonomi pada tingkat bunga yang tidak terlalu
rendah atau tidak terlalu tinggi.
Beberapa
penelitian memperlihatkan bagaimana koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter (policy mix) dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi. Musa,et.al. (2013) melihat interaksi kebijakan fiskal dan
moneter terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Estimasi
menggunakan uji kointegrasi dan Vector
Error Correction Model (VECM). Penggunaan model ini untuk melihat hubungan
jangka panjang dan jangka pendek antar variabel. Berdasarkan hasil estimasi,
terlihat bahwa penambahan jumlah uang beredar dan variabel pendapatan
pemerintah sangat efektif dalam mempengaruhi inflasi dan output dalam jangka panjang.
Musa menyimpulkan bahwa kedua kebijakan sangat efektif dalam mempengaruhi
inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria jika di lakukan dengan koordinasi
yang baik.
3.4 Koordinasi Kebijakan
Fiskal dan Moneter Di Indonesia
Tahun 1965 merupakan gambaran
perekonomian yang suram bagi Indonesia. Pencetakan uang secara besar-besaran
untuk membiayai anggaran fiskal pemerintah telah berdampak pada hiper inflasi
dimana inflasi tercatat sebesar 600 persen. Menurunnya nilai uang akibat hiper
inflasi kemudian menjadi pelajaran penting bagi otoritas kebijakan fiskal dan
moneter tentang pentingnya pengendalian uang dan inflasi. Kesadaran tersebut
kemudian mengubah arah kebijakan fiskal di Indonesia. Di penghujung tahun 1968
hingga 1971, pembiayaan defisit APBN kemudian di alihkan dengan cara berutang
ke luar negeri. Kebijakan fiskal dan moneter diperketat dengan tujuan
pengendalian inflasi.
Potret perekonomian Indonesia tahun
1970 terlihat membaik. Pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi rata-rata 7
persen per tahun. Selain keberhasilan
pengendalian hiper inflasi, Indonesia mendapatkan berkah dari kenaikan harga minyak dunia pada periode
ini. Berkah kenaikan harga minyak dapat di nikmati karena Indonesia saat itu tercatat
sebagai negara pengekspor minyak. Dominasi kebijakan fiskal dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi
menyebabkan terjadi penambahan jumlah uang beredar dari sisi fiskal terutama
dari penambahan devisa. Peran kebijakan moneter di periode ini bisa dikatakan
tidak memiliki peran yang vital seperti kebijakan fiskal. Bank Indonesia masih
menerapkan kebijakan moneter yang kontraktif terutama untuk menekan inflasi
akibat ekspansi fiskal. Berkah kenaikan harga minyak dunia tidak selamanya
dapat diandalkan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di awal tahun 1980 pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat seiring
berakhirnya periode oil boom.
Menyadari hal ini pemerintah mulai mencari jalan untuk keluar dari masalah
melambatnya ekonomi. Tahun 1980 pemerintah meliberalisasi sektor-sektor ekonomi
sebagai upaya pemberdayaan sektor swasta dalam perekonomian. Pemerintah mulai
memberi peluang bagi kebijakan moneter dengan kebijakan yang ekspansif untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat juga dengan kebijakan
liberalisasi sektor keuangan yang cukup mengalami perubahan yang besar. Dampak
liberalisasi sektor keuangan terlihat dengan banyaknya pendirian bank-bank baru
di Indonesia. Peran bank umum dalam memberikan kredit juga di tingkatkan dengan
penurunan tingkat bunga dan kemudahan pemberian kredit.
Peran kebijakan moneter semakin
dominan terhadap perekonomian di era tahun 1990. Kebijakan moneter yang
ekspansif dan semakin banyaknya jumlah bank-bank umum berdiri menyebabkan dunia
usaha semakin berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, kemudahan
bagi dunia usaha dalam mengakses kredit termasuk kredit luar negeri menyebabkan
sektor perbankan sangat rentan terkena krisis yang kemudian hari hal ini
terbukti. Pertumbuhan sektor keuangan terlihat kebablasan dengan minimnya
pengawasan Bank Indonesia dan banyaknya bank umum yang tidak mematuhi standar
kesehatan perbankan.
Tahun 1997/1998 merupakan sejarah
yang suram bagi sektor moneter di Indonesia. Berawal dari depresiasi nilai
tukar bath Thailand yang merembet ke
negara-negara lain di ASIA termasuk Indonesia. Sepertinya Indonesia kurang
dapat memprediksikan boom waktu dari
pertumbuhan sektor moneter yang rapuh dan rentan terkena krisis. Meningkatnya
utang luar negeri baik dari sisi pemerintah maupun swasta pasca oil boom menjadi boomerang kehancuran ekonomi pada tahun 1997/1998 lalu. Nilai tukar
rupiah yang terdepresiasi hingga sempat mencapai 15.000 rupiah per US dolar
menyebabkan lonjakan utang yang luar biasa dan menyebabkan ketidak mampuan
swasta dalam membayar kredit. Akibatnya kredit macet meningkat dan menjadi
titik awal bangkrutnya perbankan di Indonesia dan menjadi awal dari krisis
multidimensi di Indonesia.
Kebijakan moneter kontraktif dengan
menaikkan tingkat bunga yang diterapkan
BI sesuai kesepakatan IMF selaku donator dalam upaya mengatasi krisis nilai
tukar saat itu sebenarnya malah
memperburuk keadaan. Naiknya tingkat bunga hingga mencapai 38,8 persen (tingkat
bunga deposito) tidak efektif diterapkan pada saat itu dimana kepercayaan
publik pada perbankan nyaris tidak ada lagi. Kenaikan tingkat bunga malah makin
memperparah kredit macet untuk pinjaman dalam negeri (dalam rupiah).
Tahun 1999 merupakan momentum awal
tentang pentingnya pengawasan dan kesehatan perbankan. Pemerintah mengupayakan
restrukturisasi perbankan untuk mengembalikan bank-bank yang pailit menjadi dapat beroperasi lagi.
Program restrukturisasi dengan obligasi rekap terlihat berjalan baik sehingga
bank-bank yang masih di nilai layak dapat kembali beroperasi. Di sisi kebijakan
moneter, lahirnya UU No. 23 tahun 1999 melahirkan suatu kebijakan yang
mengerucut bagi Bank Indonesia. Tugas Bank Indonesia hanya di fokuskan pada
stabilitas harga yaitu stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu
undang-undang ini mengatur tentang Bank Indonesia sebagai lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk pemerintah.
Pasca krisis moneter tahun
1997/1998, kebijakan moneter yang semula menerapkan kebijakan kontraktif
perlahan diperlonggar. Kebijakan fiskal yang tadinya menerapkan kebijakan
ekspansif dengan meningkatkan defisit perlahan defisitnya dikurangi. Bahaya
utang luar negeri bagi sektor fiskal menyebabkan pemerintah mengubah cara
memenuhi defisit anggaran degan cara baru yaitu menerbitkan surat utang negara
(SUN) atau obligasi. Standar kesehatan dan kehati-hatian perbankan diperketat
mengingat pentingnya kesehatan perbankan dalam menunjang perekonomian. Dampak
dari kebijakan ini cukup terasa ketika kejadian krisis global tahun 2008/2009
di mana perekonomian Indonesia tidak terlalu terkena dampak krisis tersebut.
Sektor perbankan cukup tangguh menghadapi krisis global tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar