Kebijakan Pemerintah Dalam Eekonomi Islam

Label:

Oleh: Chenny Seftarita
Alquran telah jelas menceritakan tentang adanya siklus bisnis dalam perekonomian dan cara pengelolaannya. Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 43-48 telah menceritakan tentang kebijakan fiskal yang dilakukan masyarakat Mesir pada zaman nabi Yusuf, A.S. Dikisahkan bahwa pada zaman nabi Yusuf, A.S., raja Mesir saat itu bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus dan tujuh tangkai gandum yang hijau dan (tujuh tangkai ) yang lain kering. Nabi Yusuf, A.S., mengartikan mimpi tersebut bahwa akan terjadi tujuh masa di mana perekonomian akan mengalami booming (masa subur), dan tujuh masa kemudian mengalami paceklik (resesi).  
Mimpi di maknai bahwa dalam perekonomian akan ada siklus bisnis. Saran beliau adalah bahwa pada masa booming, bercocok tanamlah selama tujuh tahun tersebut secara biasa. Sebagian yang telah dipanen hendaklah disimpan bersama tangkainya dan sedikit sisanya adalah untuk konsumsi sekarang. Kemudian jika telah datang masa tujuh tahun kemarau (kelaparan), simpanan makanan dapat dikonsumsi dan sebagian kecil disisakan untuk menjadi benih dan begitu seterusnya.  Kebijakan ini berhasil membawa perekonomian mesir pada tingkat kemakmuran. Di mana Mesir dapat melalui tahap-tahap siklus bisnis dengan baik. Kebijakan anggaran surplus yang diterapkan baik dalam tingkat individu maupun pemerintah dizaman nabi Yusuf, A.S ini merupakan adanya bukti bahwa kebijakan ekonomi telah ada jauh sebelum teori modern tentang kebijakan anggaran dan teori siklus bisnis  muncul.  
Dalam konteks modern, masa kaya raya dapat di sinonimkan sebagai masa booming, dimana indikator perekonomian rata-rata mengalami peningkatan, seperti; pertumbuhan ekonomi, surplus neraca perdagangan dan pembayaran, naiknya harga minyak bumi, swasembada pangan, dan lain-lain. Sebagai contoh kasus, Indonesia pernah mengalami masa boom minyak (oil boom) pada tahun 1973 dan 1979, dimana terjadi kenaikan harga-harga minyak di pasaran internasional. Pada saat itu potret perekonomian Indonesia terlihat sangat bagus dan gemilang berkat kejutan-kejutan minyak tersebut. Masa paceklik dalam sejarah nabi Yusuf A.S dapat diistilahkan sebagai masa depresi (depreciation) dimana terjadi penurunan terendah dalam  aktivitas perekonomian (economics down turn). Masa krisis dalam perekonomian modern terjadi karena berlakunya pengangguran dan penurunan aktivitas perekonomian. Terkadang bahkan perekonomian dihadapkan pada masalah inflasi dan pengangguran yang terjadi bersamaan, seperti kasus krisis Asia tahun 1997/1998 lalu.
            Di zaman Nabi Muhammad, S.A.W., lembaga keuangan negara yang disebut baitul mal  berperan menjalankan kebijakan fiskal. Baitul mal bukanlah sekedar bazis seperti sekarang ini, tetapi juga berperan sebagai lembaga pengelola keuangan negara. Baitul mal dapat menjalankan kebijakan fiskal karena sumber penerimaannya tidak terbatas pada zakat saja, namun mencakup pula; karaj (pajak atas tanah), khums, jizya, dan penerimaan lainnya seperti khaffarah.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri kebijakan fiskal Baitul Mal, pertama: dalam kebijakan fiskal baitul mal anggaran defisit boleh digunakan pada saat yang sangat genting. Defisit juga harus secepatnya dilunasi. Dalam sejarah perjuangan Rasullullah.S.A.W, tercatat hanya sekali terjadi anggaran defisit yaitu ketika jatuhnya kota Mekah. Hutang pemerintah saat itu dibayar sebelum satu tahun yaitu setelah perang Hunayn selesai. Kedua: terdapat perbedaan kharaj (pajak atas tanah)  pada setiap tanah. Perhitungan tingkat kharaj ditentukan berdasarkan produktivitas lahan, bukan berdasarkan luas lahan. Suatu tanah dikatakan produktif di lihat dari tingkat kesuburan tanah, jumlah dan nilai pasar produk pertanian yang ditanam di lahan tersebut, dan memasukkan metode irigasi pada tanah tersebut.
Ciri yang ketiga: akad pada peternakan dikenakan tingkat pajak yang regresif yaitu semakin banyak ternak yang dipelihara semakin kecil rate nya. Hal ini mendorong adanya skala usaha yang lebih besar dan biaya produksi yang lebih rendah. Akibatnya tersedia lebih banyak ternak dengan harga relatif murah. Pengenaan pajak dengan system ini hanya dikenakan pada peternakan dan tidak pada barang pertanian yang cepat rusak. Keempat: zakat perdagangan dikenakan atas keuntungan, bukan atas harga jual. Secara ekonomi ini berarti zakat tidak akan mengurangi penawaran barang dan tidak akan menaikkan harga jual. Bagian terakhir, yaitu bagian kelima: porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur lebih besar dari pada anggaran lainnya. Kebijakan fiskal baitul mal juga telah mengedepankan manajemen administrasi yang baik. Selain itu jaringan kerja antara baitul mal di pusat dan baitul mal di daerah-daerah telah di kenal dan di laksanakan dengan baik seperti konsep lembaga modern saat ini.
            Untuk kebijakan moneter dilihat dari sudut pandang Islam, secara umum konsep dasar dari aktivitas perekonomian terutama disektor moneter tertuang dalam Al-Quran surat Al Baqarah ayat 275  yang di terjemahkan berikut ini:

“ Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berpendapat sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi riba maka orang-orang itu adalah penghuni –penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”. Q.S. Al Baqarah, 2:275.

            Dalam surat tersebut jelas bahwa dalam konsep ekonomi Islam, adanya larangan yang tegas mengenai riba atau bunga seperti di zaman modern saat ini. Dengan jelas bahwa yang di perbolehkan adalah prinsip-prinsip jual beli yang kemudian menjadi dasar dari kegiatan-kegiatan sektor keuangan Islam, seperti perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
Dalam literatur sejarah, sampai dengan zaman Umar Bin Khattab, r.a boleh dikatakan pemerintahan Islam belum memiliki sejenis bank sentral yang mengatur kebijakan moneter, karena pada waktu itu belum ada mata uang dinar yang dicetak oleh pemerintahan Islam. Sebagaimana diketahui, mata uang resmi masih menggunakan dinar romawi dan dinar Persia. Baru dizaman Khalifah Utsman, r.a, dinar Islam dibentuk yang menyerupai dinar Persia.  Barulah pada pemerintahan Ali, r.a dinar khas Islam dibentuk. Namun karena keadaan politik saat itu, peredarannya masih terbatas. Dalam hal ini baitul mal belum menjalankan fungsinya sebagai  pengambil kebijakan moneter.
            Cikal bakal Kebijakan moneter dalam Islam di mulai tentang peran uang dalam perekonomian. Nezhad (2004) menjelaskan tentang peran uang dan perkembangan uang dalam sejarah Islam. Dalam konsep Islam di akui permintaan uang untuk transaksi, standar pembayaran dan unit penyimpan nilai. Sedangkan motif spekulasi tidak diakui karena dapat mendorong pada transaksi maya disektor moneter. Uang  bukanlah komoditi sehingga tidak dapat di perjual belikan. Uang tidak memiliki harga namun dapat merefleksikan semua  harga.  Uang pertama yang di cetak oleh pemerintah Islam berbentuk koin emas dan perak yaitu pada tahun 40 setelah Hijriyah, namun belum menjadi mata uang resmi saat itu. Barulah pada tahun 74 setelah Hijriyah uang dinar dan dirham tersebut menjadi mata uang resmi dan menjadi hak monopoli pemerintah. Melengkapi pendapat tersebut, Al-Yosef (2005) menyatakan bahwa penyebab utama krisis yang melanda perekonomian dunia dalam 3 dekade terakhir adalah di sebabkan oleh penggunaan uang untuk tindakan spekulasi (gharar). Tindakan spekulasi menyebabkan menggelembungnya ekonomi yang rentan terhadap krisis, serta terjadinya high cost dalam ekonomi.
Dalam kebijakan moneter, stok uang adalah cerminan aktivitas sektor riil, di mana jika penambahan jumlah uang beredar melebihi jumlah produksi barang dan jasa maka akan menyebabkan inflasi.  Pemerintah harus menjaga nilai uang,  sehingga pencetakan uang harus sesuai dengan produksi barang yang dilakukan negara. Dalam sejarah ekonomi Islam pernah terjadi inflasi akibat pencetakan uang. Pada awal pemerintahan Bani Mamluk satu dirham mengandung dua per tiga perak dan sepertiga tembaga, namun di zaman pemerintahan Nasir, pemerintah merubah nilai mata uang ini menjadi dua pertiga tembaga dan sepertiga perak. Hasilnya adalah ketidakstabilan ekonomi dan meningkatnya inflasi karena jumlah uang beredar terlalu banyak. Pentingnya tentang menjaga jumlah uang beredar, secara tegas Islam mengecam penimbunan uang yang tidak produktif dan pemalsuan uang, karena menimbun uang sama seperti menarik uang secara sementara dalam peredaran. Sedang memalsukan uang adalah menambah uang beredar.

Policy Mix (Gabungan Kebijakan Fiskal dan Moneter)

Label:

Oleh: Chenny Seftarita SE,M.Si. 
Dalam kebijakan suatu negara, diperlukan adanya gabungan kebijakan (policy mix) yang saling terkoordinasi dengan baik. Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter diperlukan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dan ke gagalan kebijakan. Kita mengenal istilah informasi yang asimetris (assimetrics information) di mana  informasi yang tidak seimbang antara kebijakan pemerintah dengan ekspektasi rumah tangga atau perusahaan akan memicu adanya kegagalan kebijakan tersebut. Kita juga mengenal istilah crowding out atau kebijakan yang saling meniadakan sehingga kebijakan menjadi gagal dalam pencapaian tujuan.
Kebijakan gabungan dinilai dapat mempengaruhi perekonomian lebih maksimal jika di lakukan secara terkoordinasi.   beberapa metode dalam pelaksanaan kebijakan gabungan, antara lain; (1) Kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan fiskal ekspansif, (2) Kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan fiskal ekspansif, (3) Kebijakan moneter  ekspansif dan kebijakan fiskal kontraktif, (4) Kebijakan moneter kontraktif  dan kebijakan fiskal kontraktif.  
Metode (1) dan (4) dimana kebijakan di lakukan sama-sama ekspansif atau ama-sama kontraktif  merupakan metode kebijakan yang paling efektif untuk mengatasi fluktuasi siklus bisnis yang berlebihan. Kondisi ini tentu memiliki syarat jika gabungan kebijakan tersebut dilakukan secara terkoordinasi. Sementara itu, metode kebijakan (2) dan (3) akan memiliki pengaruh yang saling meniadakan, dan hasil akhirnya sangat tergantung pada kekuatan pengaruh relatif antara kebijakan moneter dan fiskal.  Beberapa studi empiris memperlihatkan bahwa kombinasi kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan fiskal ekspansif  sering kali cenderung mendorong terjadinya crowding out dimana kebijakan fiskal ekspansif akan meningkatkan suku bunga keseimbangan pasar sehingga dapat menghambat kegiatan investasi oleh masyarakat   (warjiyo dan Solikin, 2003).
            Sejalan dengan hal tadi, menurut Dornbusch,et.al (2008:267), Kebijakan moneter yang ekspansif akan menurunkan tingkat bunga, sedangankan kebijakan fiskl yang ekspansif akan meningkatkan tingkat bunga. Kebijakan moneter yang ekspansif akan meningkatkan output dan meningkatkan investasi. Sedangkan kebijakan fiskal dapat meningkatkan output namun menyebabkan turunnya tingkat investasi akibat crowding out. Oleh karenanya, pemerintah dapat menerapkan policy mix atau gabungan kebijakan fiskal dan moneter yang dapat kita lihat pada gambar (3.7).
Jika perekonomian hendak mencapai nilai Y* atau titik full employment, maka kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan fiskal ekspansif dengan konsekuensi tingkat bunga naik dan investasi menurun karena adanya crowding out (titik E1). Jika dilakukan kebijakan moneter maka tingkat bunga akan turun pada tingkat E2 dimana investasi meningkat. Pemerintah dapat menerapkan kebijakan gabungan atau policy mix sehingga hasilnya ada dipertengahan E1 dan E2. Kebijakan gabungan dapat sama-sama mencapai pertumbuhan ekonomi pada tingkat bunga yang tidak terlalu rendah atau tidak terlalu tinggi.
Beberapa penelitian memperlihatkan bagaimana koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter (policy mix) dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Musa,et.al. (2013) melihat interaksi kebijakan fiskal dan moneter terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Estimasi menggunakan uji kointegrasi dan Vector Error Correction Model (VECM). Penggunaan model ini untuk melihat hubungan jangka panjang dan jangka pendek antar variabel. Berdasarkan hasil estimasi, terlihat bahwa penambahan jumlah uang beredar dan variabel pendapatan pemerintah sangat efektif dalam mempengaruhi inflasi dan output  dalam jangka panjang. Musa menyimpulkan bahwa kedua kebijakan sangat efektif dalam mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria jika di lakukan dengan koordinasi yang baik.

3.4  Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Di Indonesia
            Tahun 1965 merupakan gambaran perekonomian yang suram bagi Indonesia. Pencetakan uang secara besar-besaran untuk membiayai anggaran fiskal pemerintah telah berdampak pada hiper inflasi dimana inflasi tercatat sebesar 600 persen. Menurunnya nilai uang akibat hiper inflasi kemudian menjadi pelajaran penting bagi otoritas kebijakan fiskal dan moneter tentang pentingnya pengendalian uang dan inflasi. Kesadaran tersebut kemudian mengubah arah kebijakan fiskal di Indonesia. Di penghujung tahun 1968 hingga 1971, pembiayaan defisit APBN kemudian di alihkan dengan cara berutang ke luar negeri. Kebijakan fiskal dan moneter diperketat dengan tujuan pengendalian inflasi.
            Potret perekonomian Indonesia tahun 1970 terlihat membaik. Pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi rata-rata 7 persen per tahun.  Selain keberhasilan pengendalian hiper inflasi, Indonesia mendapatkan berkah  dari kenaikan harga minyak dunia pada periode ini. Berkah kenaikan harga minyak dapat di nikmati karena Indonesia saat itu tercatat sebagai negara pengekspor minyak. Dominasi kebijakan fiskal dalam mendorong  pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadi penambahan jumlah uang beredar dari sisi fiskal terutama dari penambahan devisa. Peran kebijakan moneter di periode ini bisa dikatakan tidak memiliki peran yang vital seperti kebijakan fiskal. Bank Indonesia masih menerapkan kebijakan moneter yang kontraktif terutama untuk menekan inflasi akibat ekspansi fiskal. Berkah kenaikan harga minyak dunia tidak selamanya dapat diandalkan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di awal tahun 1980 pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat seiring berakhirnya periode oil boom. Menyadari hal ini pemerintah mulai mencari jalan untuk keluar dari masalah melambatnya ekonomi. Tahun 1980 pemerintah meliberalisasi sektor-sektor ekonomi sebagai upaya pemberdayaan sektor swasta dalam perekonomian. Pemerintah mulai memberi peluang bagi kebijakan moneter dengan kebijakan yang ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat juga dengan kebijakan liberalisasi sektor keuangan yang cukup mengalami perubahan yang besar. Dampak liberalisasi sektor keuangan terlihat dengan banyaknya pendirian bank-bank baru di Indonesia. Peran bank umum dalam memberikan kredit juga di tingkatkan dengan penurunan tingkat bunga dan kemudahan pemberian kredit.
            Peran kebijakan moneter semakin dominan terhadap perekonomian di era tahun 1990. Kebijakan moneter yang ekspansif dan semakin banyaknya jumlah bank-bank umum berdiri menyebabkan dunia usaha semakin berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, kemudahan bagi dunia usaha dalam mengakses kredit termasuk kredit luar negeri menyebabkan sektor perbankan sangat rentan terkena krisis yang kemudian hari hal ini terbukti. Pertumbuhan sektor keuangan terlihat kebablasan dengan minimnya pengawasan Bank Indonesia dan banyaknya bank umum yang tidak mematuhi standar kesehatan perbankan.
            Tahun 1997/1998 merupakan sejarah yang suram bagi sektor moneter di Indonesia. Berawal dari depresiasi nilai tukar bath Thailand yang merembet ke negara-negara lain di ASIA termasuk Indonesia. Sepertinya Indonesia kurang dapat memprediksikan boom waktu dari pertumbuhan sektor moneter yang rapuh dan rentan terkena krisis. Meningkatnya utang luar negeri baik dari sisi pemerintah maupun swasta pasca oil boom menjadi boomerang kehancuran ekonomi pada tahun 1997/1998 lalu. Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi hingga sempat mencapai 15.000 rupiah per US dolar menyebabkan lonjakan utang yang luar biasa dan menyebabkan ketidak mampuan swasta dalam membayar kredit. Akibatnya kredit macet meningkat dan menjadi titik awal bangkrutnya perbankan di Indonesia dan menjadi awal dari krisis multidimensi di Indonesia.
            Kebijakan moneter kontraktif dengan menaikkan tingkat bunga  yang diterapkan BI sesuai kesepakatan IMF selaku donator dalam upaya mengatasi krisis nilai tukar  saat itu sebenarnya malah memperburuk keadaan. Naiknya tingkat bunga hingga mencapai 38,8 persen (tingkat bunga deposito) tidak efektif diterapkan pada saat itu dimana kepercayaan publik pada perbankan nyaris tidak ada lagi. Kenaikan tingkat bunga malah makin memperparah kredit macet untuk pinjaman dalam negeri (dalam rupiah).
            Tahun 1999 merupakan momentum awal tentang pentingnya pengawasan dan kesehatan perbankan. Pemerintah mengupayakan restrukturisasi perbankan untuk mengembalikan bank-bank yang pailit menjadi dapat beroperasi lagi. Program restrukturisasi dengan obligasi rekap terlihat berjalan baik sehingga bank-bank yang masih di nilai layak dapat kembali beroperasi. Di sisi kebijakan moneter, lahirnya UU No. 23 tahun 1999 melahirkan suatu kebijakan yang mengerucut bagi Bank Indonesia. Tugas Bank Indonesia hanya di fokuskan pada stabilitas harga yaitu stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu undang-undang ini mengatur tentang Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk pemerintah.
            Pasca krisis moneter tahun 1997/1998, kebijakan moneter yang semula menerapkan kebijakan kontraktif perlahan diperlonggar. Kebijakan fiskal yang tadinya menerapkan kebijakan ekspansif dengan meningkatkan defisit perlahan defisitnya dikurangi. Bahaya utang luar negeri bagi sektor fiskal menyebabkan pemerintah mengubah cara memenuhi defisit anggaran degan cara baru yaitu menerbitkan surat utang negara (SUN) atau obligasi. Standar kesehatan dan kehati-hatian perbankan diperketat mengingat pentingnya kesehatan perbankan dalam menunjang perekonomian. Dampak dari kebijakan ini cukup terasa ketika kejadian krisis global tahun 2008/2009 di mana perekonomian Indonesia tidak terlalu terkena dampak krisis tersebut. Sektor perbankan cukup tangguh menghadapi krisis global tersebut.

Kebijakan Moneter Di Indonesia

Label:

Oleh:    Chenny Seftarita,SE,M.Si.
Perubahan yang besar pada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam menjalankan tugasnya tertuang dalam UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia,  yang berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 Undang-undang ini telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Dalam undang-undang ini status dan kedudukan Bank Indonesia dalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain.  Terdapat perubahan mendasar, di mana tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan di fokuskan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai yang di wujudkan dalam kerangka target inflasi (inflation targeting framework).
          Definisi kebijakan moneter sebelum era reformasi dapat memperlihatkan bagaimana perbedaan fungsi bank sentral sebelum dan sesudah reformasi. Menurut Roswita (1995), kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (bank sentral) untuk mempengaruhi jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan kredit yang pada waktunya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Adapun tujuan dari kebijaksanaan moneter
1.        Pendapatan nasional yang tinggi agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
2.        Kesempatan kerja yang cukup tinggi agar tingkat pengangguran rendah
3.        Kestabilan harga atau laju inflasi yang rendah
4.        Neraca pembayaran internasional yang seimbang
5.        Distribusi pendapatan yang merata
            Setelah krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 lalu, tujuan dan tugas utama Bank Indonesia saat ini hanya terfokus pada pencapaian dan pemeliharaan stabilitas nilai rupiah meliputi inflasi dan nilai tukar. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009, implementasi kebijakan moneter terlihat dari penetapan besaran BI-Rate. Target kebijakan moneter dicapai dengan pendekatan pengendalian moneter secara tidak langsung. Adapun instrumen yang digunakan adalah:
1.    Politik Diskonto (Rediscount Rate Policy) yaitu kebijaksanaan bank sentral dengan cara menaikkan atau menurunkan tingkat bunga yang harus dibayar bank umum apabila bank umum meminjam dana dari bank sentral. Pinjaman tersebut disebut kredit likuiditas dimana jika bank umum mengalami kesulitan likuiditas dapat meminjam ke bank sentral. Bank sentral dapat memberikan pinjaman (kredit likuiditas) atau dengan membeli surat-surat berharga milik bank umum yang memerlukan bantuan. Aktivitas jual beli surat-surat berharga disebut mendiskontokan surat-surat berharga. Kebijaksanaan menaikkan atau menurunkan tingkat bunga kredit likuiditas dan tingkat bunga diskonto dapat mempengaruhi kemampuan bank umum dalam memberikan kredit ke masyarakat sehingga mempengaruhi  jumlah uang beredar dan target akhir yaitu inflasi.
1.    Politik Cadangan Minimal (Reserve Requirement) atau di Indonesia disebut Giro Wajib Minimum (GWM), yaitu kebijaksanaan bank sentral untuk mengubah besarnya cadangan minimal. Bank umum harus menyimpan cadangan wajib minimum dari aktiva lancar yang dimilikinya  ke bank sentral dalam bentuk giro dan besarnya cadangan tersebut ditentukan bank sentral. Di Indonesia, kebijakan Pakto 1988 telah mewajibkan bank umum untuk menyimpan cadangan wajib minimum sebesar 3 % sebagai upaya pengendalian moneter. Sejak bulan April 1997 rasio tersebut ditingkatkan dimana besarnya rasio cadangan wajib minimum adalah 5 %. Jika bank sentral hendak menerapkan kebijakan moneter kontraktif, bank sentral dapat meningkatkan rasio cadangan minimum sehingga kemampuan bank umum dalam menyalurkan kredit ke masyarakat akan menurun. Akibatnya perlambatan pertumbuhan kredit akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
2.     Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), yaitu kebijaksanaan dengan cara menjual dan membeli surat-surat berharga pemerintah, sehingga akan mengurangi atau menambah jumlah uang beredar. Di Indonesia surat berharga yang diperjual belikan adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Penjualan SBI dilakukan melalui lelang. Jika bank sentral menjual obligasi pemerintah kepada masyarakat, maka kebijakan ini berarti bank sentral sedang melakukan kebijakan moneter yang kontraktif yaitu mengurangi jumlah uang beredar. Begitu juga sebaliknya jika bank sentral membeli obligasi pemerintah yang ada pada masyarakat maka bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif yaitu menambah jumlah uang beredar.

3.2.2 Perkembangan Indikator Moneter di Indonesia
Kurun tahun 2005 hingga 2012 secara umum indikator moneter seperti inflasi dan kurs (nilai tukar)  terus mengalami perbaikan. Inflasi sebagai salah satu target akhir kebijakan moneter tercatat mengalami peningkatan cukup tinggi pada bulan Oktober 2005 hingga Februari 2006 yaitu diatas 17 persen. Kenaikan harga-harga barang umum ini lebih disebabkan oleh kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).  Jika kita lihat dari pola inflasi, inflasi administered price atau inflasi akibat kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terhadap peningkatan Inflasi di Indonesia. Gambar (3.3) memperlihatkan perkembangan inflasi di Indonesia delapan tahun terakhir.
Gambar 3.3 Perkembangan Inflasi di Indonesia
Sumber: www.bi.go.id, 2013 (diolah)

Pada pertengahan hingga akhir tahun 2008 tingkat inflasi kembali mengalami peningkatan rata-rata 11,5 persen. Peningkatan ini di sebabkan oleh adanya krisis global yang sedikit banyak memberikan imbas pada perekonomian Indonesia. Pasca krisis global perekonomian Indonesia terlihat membaik hal ini dapat di lihat dari tingkat inflasi yang relatif stabil dan masih pada tingkat yang aman yaitu dibawah 10 persen. Sedikit berbeda dengan perkembangan kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dolar US, di mana depresiasi nilai tukar rupiah tertinggi terjadi pada saat krisis global tahun 2008 yaitu pada Oktober 2008 hingga Maret tahun 2009. Perkembangan kurs atau nilai tukar rupiah dapat dilihat pada gambar (3.4) di bawah.
Gambar 3.4 Perkembangan kurs rupiah terhadap dolar
Sumber: www.bi.go.id, 2013 (diolah)

            Pada gambar (3.4) terlihat pasca krisis global nilai tukar rupiah terus mengalami apresiasi rata-rata pada tingkat 9.000 rupiah per dolar US. Di akhir tahun 2012 kurs terus mengalami depresiasi setelah relatif stabil pasca krisis global tahun 2008. Relatif membaiknya indikator moneter seperti inflasi dan nilai tukar merupakan implikasi dari kebijakan yang diterapkan oleh otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia. Kebijakan moneter ini terlihat dari kebijakan moneter yang ekspansif dengan menurunkan tingkat bunga BI.
Pada gambar (3.5) terlihat bahwa kurun tahun 2005 hingga tahun 2012 tingkat BI rate tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Juni 2006 yaitu mencapai tingkat 12,5 persen. BI rate yang terbilang tinggi ini merupakan respon dari kenaikan inflasi akibat kenaikan harga BBM. Kebijakan meningkatkan tingkat bunga pada saat inflasi adalah untuk menekan permintaan dan daya beli masyarakat sehingga harga-harga akan mengalami penurunan.
Beberapa penelitian melihat bagaimana pengaruh tingkat bunga terhadap inflasi dan output. Arestis dan Sawyer (2002), melihat bagaimana tingkat bunga sebagai instrumen utama kebijakan moneter mempengaruhi sektor riil di Angeloni salah satu wilayah dalam zona Euro. Sektor riil disini  diukur dengan GDP, permintaan agregat, nilai tukar, dan investasi. Hasil estimasi dengan OLS memperlihatkan bahwa tingkat bunga berpengaruh signifikan terhadap sektor riil. Kenaikan 1 persen tingkat bunga akan menurunkan 0,2 hingga 0,35 persen GDP dan menurunkan 0,2 hingga 0,4 % tingkat inflasi.
Gambar 3.5 Perkembangan BI Rate di Indonesia
Sumber: www.bi.go.id, 2013 (diolah)

Bi rate kemudian terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008 BI rate kembali di tingkatkan lagi oleh BI sebagai upaya menahan pengaruh krisis global di Indonesia terutama untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi cukup tinggi. Relatif membaiknya perekonomian Indonesia pasca krisis global membuat BI terus melonggarkan perekonomian dengan menerapkan kebijakan moneter ekspansif. Hal ini terlihat dari perkembangan BI rate yang terus  mengalami penurunan hingga penghujung tahun 2012.
Perkembangan indikator moneter lainnya yang tidak kalah penting yaitu jumlah uang beredar. Jika dilihat dari perkembangan M2 pada gambar (3.6), kurun periode tahun 1982-2012 jumlah uang beredar terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah uang beredar M2 mencerminkan meningkatnya aktivitas perekonomian dan semakin vitalnya fungsi lembaga keuangan dalam perekonomian.  
Gambar 3.6. Perkembangan GDP dan Jumlah Uang Beredar
Sumber: Key Indicators For Asia and The Pasifics (diolah)

            Pada gambar (3.6) juga digambarkan perkembangan output yang diukur dengan perkembangan GDP (Gross domestics Product). Jika dilihat pada gambar tersebut, terdapat pola yang sama yaitu sama-sama meningkat dan menunjukkan tren positif antara jumlah uang beredar dan GDP. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar efektif dalam mempengaruhi output yaitu GDP. Hafer, et.al (2002) melihat hubungan antara kebijakan moneter, jumlah uang beredar, dan output di Amerika Serikat. Penelitian ini terdiri dari tiga kajian. Kajian yang pertama yaitu melihat hubungan antara kebijakan moneter dan output dengan mengestimasi persamaan output gap di mana tingkat pembiayaan bank sentral menjadi instrumen kebijakan moneter.
Kajian yang kedua yaitu mengestimasi Congressional Budget Office (CBO) terhadap output gap, dan yang ketiga mengestimasi pengaruh jumlah uang beredar (M0,M1,M2) dengan mempengaruhi tingkat bunga terhadap output. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat pembiayaan bank sentral terhadap output kurun waktu tahun 1961-1982, namun tercatat tidak signifikan pada data tahun 1982 hingga tahun 2000.   Penelitian ini juga  menemukan hubungan yang signifikan antara lag jumlah uang riil dan output gap pada tahun 1961-1982, namun juga tidak signifikan pada tahun 1982-2000.

KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA

Label:

Oleh: Chenny Seftarita, S.E,M.Si.
            Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengarahkan perekonomian ke arah yang lebih baik dengan mengubah-ubah pendapatan dan pengeluaran pemerintah  (Rahardja dan Manurung, 2001). Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran, yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus, dan anggaran defisit. Ketiga kebijakan anggaran di atas digunakan berdasarkan tiga fungsi kebijakan fiskal yaitu sebagai alat untuk mengalokasikan barang publik (allocation), berfungsi sebagai alat untuk distribusi pendapatan (distribution), dan alat untuk stabilisasi perekonomian (stabilization).

3.1.1 APBN Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal
             Kebijakan fiskal di Indonesia digambarkan oleh perkembangan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang terus meningkat dari tahun ke tahun. APBN merupakan salah satu lokomotif dalam mencapai pertumbuhan ekonomi di Indonesia.  Pasca krisis moneter tahun 1997/ 1998  format APBN mengalami perubahan dari format T-Billing menjadi format I-Billing. Format I-Billing yang dimaksud adalah format APBN hanya terdiri dari satu kolom dimana sebelumnya terdiri dari dua kolom dengan sistem anggaran yang berimbang.  
Perubahan ini merupakan salah satu wujud reformasi kebijakan fiskal pemerintah Indonesia. Dengan format anggaran yang baru, APBN menjadi lebih transparan dan mudah untuk di analisis. Sumber anggaran, pengeluaran dan defisit anggararan jelas terlihat dalam format ini. Perhitungan anggaran yang dimulai Januari dan berakhir Desember juga di nilai lebih efektif dalam penyusunan dan realisasi anggaran.
Berdasarkan tabel (3.1), sumber penerimaan dalam negeri berupa penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan pajak meliputi penerimaan pajak penghasilan (pph migas dan non migas), pajak pertambahan nilai, cukai, BPHTB, pajak bumi dan angunan dan pajak lainnya. Pajak perdagangan internasional meliputi bea masuk dan bea keluar. Untuk penerimaan bukan pajak, sumber pendapatan terdiri dari penerimaan SDA (Sumber daya alam) meliputi migas dan non migas, laba BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pendapatan BLU (Badan Layanan Umum), dan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) lainnya. Sumber pendapatan lainnya adalah hibah.
Untuk pengeluaran, terdapat dua pengeluaran dalam APBN, yaitu pengeluaran pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Untuk pengeluaran pemerintah pusat diantaranya terdapat pengeluaran untuk belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi,  belanja hibah, bantuan sosial, dan lain-lain. Untuk transfer ke daerah, pengeluaran terdiri dari dana perimbangan. Adapun dana perimbangan terdiri dari, pertama; bagi hasil pajak dan sumber daya alam, kedua; dana alokasi umum, dan ketiga; dana alokasi khusus. Pengeluaran lain adalah dana otonomi khusus dan dana penyesuaian.

Tabel 3.1 Format APBN di Era Reformasi

URAIAN
APBN (Rp)
A. Pendapatan Negara dan Hibah
1. Penerimaan Dalam Negeri
- Penerimaan Perpajakan
- Penerimaan Negara Bukan Pajak
II. Hibah

B. Belanja Negara
1. Belanja Pemerintah Pusat
- Pengeluaran Rutin
- Pengeluaran Pembangunan
II. Transfer ke Daerah
1.  Dana Perimbangan
2.  Dana Otonomi Khusus dan
     Penyeimbang.
III. Suspen

C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B)
E. Pembiayaan
1. Pembiayaan Dalam Negeri
2. Pembiayaan Luar Negeri

Kelebihan/ (kekurangan) pembiayaan
Rp.
                                    Sumber: Kemenkeu RI, 2014


3.1.2 Indikator Kebijakan Fiskal
            Salah satu tujuan dari kebijakan fiskal adalah mengurangi angka pengangguran. Dalam upaya menurunkan angka pengangguran, pemerintah kerap kali menstimulus perekonomian dengan kebijakan fiskal yang ekspansif dengan menambah defisit anggararan. Meningkatnya pengeluaran pemerintah diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat sehingga pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Meningkatnya aktivitas ekonomi pada akhirnya dapat mengurangi angka pengangguran.
     
Gambar 3.1 Persentase Pengangguran Terhadap Angkatan kerja
Sumber: Key Indicators For Asia and The Pasific, 1988-2012 (di olah)

      Kurun periode 1988 hingga tahun 2012 persentase angka pengangguran terhadap total angkatan kerja di Indonesia semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Persentase terendah terjadi pada tahun 1990 dimana angka pengangguran tercatat sebesar 2,5 persen per tahun. Angka pengangguran beranjak naik pasca krisis moneter tahun 1997/1998 dan mengalami tingkat tertinggi pada tahun 2005 sebesar 11, 2 persen. Pasca krisis global tahun 2008 persentase pengangguran terus mengalami penurunan pada tingkat rata-rata 6 persen pertahun.



Gambar 3.2. Defisit APBN
Sumber: Key Indicators For Asia and The Pasific, 1988-2012 (di olah)

            Peran pemerintah dalam upaya menurunkan angka penganggurana terlihat dari kebijakan anggaran dalam APBN. Gambar (3.2) memperlihatkan persentase defisit anggaran APBN terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia. Angka negatif mencerminkan pemerintah menggunakan anggaran defisit, sedangkan angka positif mencerminkan pemerintah menggunakan anggaran surplus.  Tahun 1988 defisit anggaran tercatat sebesar 2,3 persen dar PDB, defisit kemudian terus menurun bahkan tercatat surplus yaitu sebesar 3 persen pada tahun 2005.
            Pasca liberalisasi sektor keuangan peran swasta semakin meningkat. Pemerintah mulai menurunkan dominasinya dalam perekonomian dengan menggerakkan kinerja sektor keuangan. Krisis tahun 1997/1998 merupakan sejarah yang berat bagi perekonomian Indonesia. Lumpuhnya sektor riil terutama sektor perbankan menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan dana yang banyak bagi upaya pemulihan ekonomi. Pemerintah meningkatkan defisit anggarannya hingga mencapai  2,5 persen pada tahun 1999. Pasca krisis defisit anggaran terus di upayakan berada pada tingkat dibawah 2 persen dari tingkat PDB Indonesia.
            Studi empiris mengenai peran kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi pernah di teliti oleh Surjaningsih,et al.(2012). Penelitian ini menggunakan analisis kointegrasi, danVECM (Vector Error Correction Model). Ada beberapa kesimpulan penting dalam penelitian ini. Variabel kebijakan fiskal dengan kenaikan pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara shock kenaikan pajak memiliki efek menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hubungan pengeluaran pemerintah dan pajak terhadap inflasi kemungkinan di sebabkan oleh multiplier efek dan dampak kebijakan terhadap permintaan agregat.