Siklus Bisnis (Business Cycle)

Label:

Oleh: Chenny Seftarita,S.E,M.Si.
Perekonomian suatu negara tidak selalu berjalan mulus seperti yang kita inginkan. Selalu saja suatu perekonomian dihadapkan pada masalah-masalah ekonomi seperti inflasi dan pengangguran. Keynes seorang ahli ekonomi terkemuka di era tahun 1930 memperlihatkan bahwa tidak selalu perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment), pengangguran pasti akan terjadi namun besarnya tergantung kondisi perekonomian saat itu. Hal ini terbukti ketika depresi besar (great depression) terjadi di negara-negara kapitalis kurun periode 1929-1933, di mana  output ekonomi berkurang drastis sementara tingkat pengangguran tercatat sangat tinggi. Di era perekonomian terbuka saat ini, sering kali kita menjumpai krisis yang yang memiliki pengaruh besar terhadap suatu negara bahkan pengaruhnya merembet ke negara lain. Sebut saja krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997/1998, atau krisis global yang di mulai dengan krisis keuangan di amerika Serikat pada tahun 2008 lalu.
 Permasalahan inflasi dan pengangguran kerap kali terjadi pada saat perekonomian mengalami naik atau turun (siklus bisnis). Permasalahannya, pada tingkat yang mengkhawatirkan kedua masalah tadi dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah baru dalam perekonomian, seperti meningkatnya angka kemiskinan penduduk, kesenjangan sosial akibat distribusi pendapatan yang tidak merata, bahkan dapat menyebabkan masalah sosial yang lebih luas.  Untuk mengantisipasi fluktuasi yang berlebihan pada siklus bisnis, di kenal ada dua kebijakan pemerintah, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Menurut Rahardja dan Manurung (2001), kebijakan fiskal adalah kebijakan  ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola atau mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau di inginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan (pajak) dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro kekondisi yang lebih baik dengan mengatur jumlah uang beredar. Adapun yang dimaksud dengan kondisi lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan terpeliharanya stabilitas harga.
 Dalam kebijakan fiskal, tugas utama pemerintah adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat. Kebijakan ini lebih bersifat langsung menyentuh sektor riil. Kebijakan fiskal di Indonesia tercermin dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ada beberapa perubahan di dalam APBN di era reformasi. Periode anggaran yang pada era orde lama adalah pada bulan April-Maret diubah menjadi Januari-Desember.  Perubahan lainnya adalah diubahnya struktur APBN dari  dua lajur menjadi satu  lajur, sehingga APBN lebih transparan dan mudah dianalisis. Dari APBN sekarang, kita bisa melihat kebijakan anggaran apa yang diterapkan di Indonesia. Selain itu pos belanja negara mengalami penambahan pos yaitu dana perimbangan yang merupakan dana untuk  desentralisasi daerah.
 Dalam struktur APBN, pemerintah dapat menerapkan anggaran defisit sejauh hal ini diperlukan dalam meningkatkan aktivitas perekonomian.  Anggaran defisit adalah anggaran di mana komposisi pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Sumber pembiayaan anggaran defisit dapat berupa utang luar negeri maupun utang dalam negeri.  Selain kebijakan anggaran defisit, dikenal juga istilah anggaran  berimbang di mana pengeluaran adalah sama dengan penerimaan, dan anggaran surplus di mana pengeluaran lebih kecil dari penerimaan.
Kebijakan pemerintah yang kedua adalah kebijakan moneter. Di Indonesia, kebijakan moneter diserahkan sepenuhnya pada Bank Indonesia yang merupakan pihak otoritas moneter. Pasca krisis moneter tahun 1997/1998 banyak pembenahan terjadi dalam tubuh Bank Indonesia. Salah satunya yaitu independensi, tugas dan wewenangnya. Perubahan ini diatur dalam UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang diberlakukan pada tanggal 17 Mei 1999 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.6 tahun 2009. Dalam undang-undang ini diatur tentang status dan kedudukan Bank Indonesia sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Hal lain adalah menyangkut tujuan dan tugas utama Bank Indonesia yang saat ini terfokus pada pencapaian dan pemeliharaan stabilitas nilai rupiah.
 Untuk mencapai stabilitas rupiah tersebut, instrumen moneter yang menjadi sasaran antara adalah jumlah uang beredar (Money Supply), dan tingkat bunga (interest). Sedangkan sasaran akhir yang hendak dicapai  adalah kestabilan nilai rupiah meliputi inflasi dan nilai tukar. Ada beberapa istilah dalam kebijakan moneter yang lazim digunakan. Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah dikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif (monetary expansive). Sebaliknya jika jumlah uang beredar dikurangi, maka pemerintah (Bank sentral) menempuh kebijakan moneter  kontraktif (monetary contractive).  Dalam praktiknya, Bank Indonesia memiliki empat cara-cara pengendalian jumlah uang beredar, yaitu; operasi pasar terbuka dipasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, pengaturan kredit dan pembiayaan.
Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), Efektivitas kebijakan moneter tergantung pada hubungan antara jumlah uang beredar dengan variabel ekonomi utama seperti output dan inflasi. Beberapa literatur menemukan hubungan antara jumlah uang beredar, inflasi, dan output. Temuan memperlihatkan bahwa dalam jangka panjang, hubungan antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi adalah sempurna, sementara hubungan antara pertumbuhan uang atau inflasi dengan pertumbuhan output riil mungkin mendekati nol. Temuan ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berdampak pada inflasi, dan tidak banyak pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi riil. Hanya saja, beberapa kalangan praktisi  maupun akademisi yakin bahwa dalam jangka pendek kebijakan moneter ekspansif dapat mendorong kegiatan ekonomi yang sedang mengalami resesi yang berkepanjangan. Sebaliknya kebijakan moneter kontraktif dapat memperlambat laju  inflasi yang umumnya terjadi pada saat kegiatan perekonomian sedang mengalami booming .
Efektivitas kebijakan ekonomi meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tergantung pada bagaimana koordinasi antara dua kebijakan ini bekerja. Jika kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dilakukan sama-sama ekspansif, kemungkinan kombinasi kebijakan ini akan dapat menstimulus kegiatan ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat saja menambah anggaran dengan menerbitkan obligasi atau menambah utang, sedangkan kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menurunkan tingkat bunga. Pada aktivitas ekonomi yang terlampau tinggi dengan tingkat inflasi yang mengkhawatirkan, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang sama-sama kontraktif dapat menurunkan permintaan masyarakat yang pada akhirnya menurunkan tingkat inflasi.
Beberapa kebijakan biasanya mengombinasikan antara kebijakan yang ekspansif dan kontraktif. Misalnya kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang kontraktif, atau sebaliknya. Efektivitas bauran kebijakan ini sangat tergantung seberapa kuat dua kebijakan ini mempengaruhi  kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, Bank Indonesia pada suatu ketika hendak menekan inflasi dengan kebijakan tight money policy nya, namun pada saat itu juga pemerintah terus melakukan kebijakan anggaran defisitnya. Beberapa penelitian menemukan bahwa kebijakan ini cenderung mendorong peningkatan suku bunga keseimbangan pasar sehingga dapat menghambat kegiatan investasi oleh masyarakat (crowding out). Efek kebijakan yang saling berlawanan ini pada akhirnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap perekonomian.
Buku ini akan membahas tentang kebijakan ekonomi makro meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara teori dan empiris. Buku ini merupakan bagian dari ekonomi makro dan ekonomi moneter, di mana fokus bahasan adalah kebijakan ekonomi makro meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam pengelolaan siklus bisnis (The Business Cycle). Pada bagian dua  fokus bahasan diarahkan pada teori dasar dan teori ter kini mengenai kebijakan ekonomi makro dan efektivitasnya. Pada bagian ke tiga, akan dibahas tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Indonesia. Pada bagian ke empat akan dibahas sekilas tentang kebijakan ekonomi Islam. Pada bagian terakhir akan dibahas studi empiris yang telah dilakukan penulis berkaitan dengan judul buku ini.

2 komentar:

  1. Hamdani mengatakan...:

    Tulisan yang sangat menarik

  1. Syamsul Idul Adha mengatakan...:

    Sebaiknya uraian artikel dibatasi pada permasalahan Business Cycle dengan tidak begitu saja membuang latar belakang konsep teoritis Mikro dan Makro ekonomi sebagai framing permasalahan.

Posting Komentar